Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas

Dilema Bergabungnya PDI-P ke Pemerintahan Prabowo*

oleh Asrinaldi

10 Agt 2025 12:00 WIB · Artikel Opini

Adanya keinginan sejumlah petinggi PDI Perjuangan (PDI-P) untuk bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran bisa menjadi dilema bagi Presiden Prabowo Subianto, mengingat postur kabinet pemerintahannya yang memang sudah terlalu gemuk.

Keinginan bergabung ke pemerintahan Prabowo-Gibran itu mengemuka pasca-Kongres PDI-P di Bali, 1 Agustus lalu.

Bagi Prabowo, bergabungnya PDI-P akan memperkuat dominasinya dalam menentukan arah kebijakan pemerintahannya. Namun, di sisi lain, Presiden harus kembali berpikir bagaimana menempatkan kader PDI-P dalam Kabinet Merah Putih yang dipimpinnya.

Jika pilihannya tetap memasukkan PDI-P, tapi tidak memberi kursi di kementerian, tentu tidak akan bermakna dari sisi ikatan koalisi politik yang dibangun. Tidak ada cara selain mengganti beberapa menteri yang ada sekarang, sekaligus mengurangi jumlahnya kalau itu dimungkinkan.

Bagaimanapun, sampai saat ini publik masih menilai banyaknya jumlah menteri dan wakil menteri serta lembaga baru yang dibentuk Presiden Prabowo tidak sesuai dengan semangat efisiensi sebagaimana digariskan dengan Inpres No 1/2025 tentang Efisiensi Belanja Lembaga Pemerintahan.

Pergantian menteri

Dilema akan dihadapi Prabowo dalam menyusun kembali kabinetnya jika PDI-P jadi bergabung. Sebab, saat ini paling tidak ada tiga kelompok menteri yang berada dalam lingkaran kekuasaan pemerintahan.

Pertama, kelompok menteri dalam pemerintahan Prabowo-Gibran yang ada kaitannya dengan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ada dugaan Jokowi ”menitipkan” nama-nama menteri yang dulu menjadi pembantunya untuk menjadi menteri dalam pemerintahan Prabowo-Gibran. Jumlahnya cukup banyak sehingga ikut mewarnai arah kebijakan pemerintahan Presiden Prabowo.

Keberadaan para menteri ”titipan” ini secara tak langsung menegaskan masih adanya kepentingan Jokowi di pemerintahan Prabowo-Gibran.

Kedua, kelompok menteri yang berasal dari Partai Gerindra dan partai pendukung Prabowo melalui koalisi yang mereka bentuk. Secara politik, tentu ikatan koalisi ini cukup kuat dan menjadi kekuatan utama Prabowo dalam pemerintahan saat ini. Menteri-menteri dari kelompok ini tentu menjadi pilihan utama Prabowo ketika menyusun kabinet ketika ia dilantik menjadi presiden.

Ketiga, kelompok menteri yang berasal dari kalangan profesional dan tidak terafiliasi langsung dengan politik kepada partai tertentu. Menteri-menteri yang dipilih dari kalangan ini memiliki keahlian di bidangnya, yang dibutuhkan untuk mewujudkan visi dan misi Presiden. Meskipun demikian, posisi menteri-menteri ini tentu lebih lemah secara politik dibandingkan dengan dua kelompok menteri sebelumnya.

Jika memang PDI-P bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran, sudah tentu jatah kursi menteri perlu diberikan kepada PDI-P.

Sebagai partai pemenang Pemilu 2024, jumlah kursi PDI-P di DPR yang mencapai 110 kursi cukup signifikan untuk memperkuat dominasi pemerintahan Prabowo-Gibran dalam meloloskan kebijakan-kebijakannya di lembaga legislatif.

Tentu ini menjadi pertimbangan utama bagi Presiden Prabowo untuk mengamankan kebijakannya di DPR. Walaupun saat ini Koalisi Indonesia Maju memiliki jumlah kursi 81 persen atau sekitar 470 kursi di DPR, mendapat dukungan penuh dari DPR adalah bagian kenyamanan dalam menyelenggarakan kekuasaan bagi Prabowo. Pertanyaannya: kursi menteri mana yang harus diberikan kepada PDI-P?

Apakah Prabowo akan mengganti menteri-menteri titipan Jokowi atau mengganti mereka yang loyal kepada dirinya dalam koalisi pemerintahan? Mengganti menteri petahana titipan Jokowi bukan pilihan yang mudah bagi Prabowo. Bagaimanapun, menteri-menteri tersebut adalah representasi bentuk negosiasi politik antara Prabowo ketika berpasangan dengan Gibran Rakabuming yang sudah tentu ikut dibicarakan oleh Presiden Jokowi.

Menghadirkan PDI-P dalam kabinet Prabowo-Gibran yang pembentukannya ikut diwarnai oleh mantan Presiden Jokowi akan menemui kendala psikologis. Apalagi, saat ini hubungan PDI-P dengan mantan Presiden Jokowi sedang pada masa surut. Kecuali, Presiden Prabowo mengambil langkah tegas dengan menunjukkan kesungguhannya untuk merangkul semua pihak untuk berada dalam lingkaran kekuasaannya.

Sementara itu, jika mengganti menteri-menteri dari internal Partai Gerindra dan pendukungnya, walaupun lebih logis dilakukan, jelas akan mengecewakan kelompok loyalisnya.

Bagi pengurus Partai Gerindra, kekuasaan saat ini adalah peluang untuk membuktikan kemampuan mereka menjadikan Partai Gerindra melaksanakan manifesto politiknya di hadapan rakyat Indonesia.

Pilihan rasional

Sepertinya, yang lebih memungkinkan adalah mengganti kelompok menteri yang berasal dari kalangan profesional. Walaupun sudah tentu upaya mengganti menteri dari kalangan profesional ini akan mendapat kritik dari masyarakat, dan juga akan berdampak pada menurunkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintahan Prabowo-Gibran yang sebelumnya menjanjikan ingin membentuk kabinet zaken.  

Mengambil pilihan menambah jajaran kementerian baru juga bakal kembali mengundang kritik tajam masyarakat karena yang terlihat adalah ketidakkonsistenan Presiden dengan kebijakan efisiensinya.

Apalagi, negara saat ini dibayang-bayangi defisit anggaran. Bahkan, defisit anggaran tahun 2025 ini sudah mencapai Rp 662 triliun atau 2,78 persen dari produk domestik bruto (PDB). Dilema ini tentu menjadi penghambat bagi pemerintahan Prabowo jika mengajak PDI-P masuk dalam kabinetnya.

Asrinaldi A, Dosen Ilmu Politik dan Studi Kebijakan FISIP Universitas Andalas

*Artikel ini telah terbit di Kompas, Senin 11 Agustus 2025 Halaman 7
Klik disini untuk membaca versi asli

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn